Senin, 08 Oktober 2012

MANUSIA SEBAGAI MAKLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL (KLS X, SMT I, BAB II, KB I)


A. MANUSIA SEBAGAI MAKLUK INDIVIDU

Pengertian manusia sebagai makhluk individu mengarah kepada karakteristik khas yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup yang membedakan dirinya dengan makhluk hidup yang lain, serta dengan manusia yang lain. Karakter khas yang dimiliki setiap manusia, dan berbeda dengan manusia yang lain ini meiliputi fisik, kepribadian, yaitu sifat khas yang dimiliki seseorang, sifat, sikap, temperamen, watak (karakter), tipe, dan minat. Dalam hal tertentu, setiap manusia adalah sama seperti semua manusia yang lain, sama seperti beberapa manusia lain dan berbeda dengan manusia lain.
Bilamana diperhatikan, dalam kondisi normal kelengkapan fisik dan fungsinya dari setiap manusia adalah sama, diantaranya setiap manusia mempunyai hidung, mulut, telinga, rambut, mata dan sebagainya. Namun diketahui pula bahwa hidung, mulut, telinga, rambut, mata setiap manusia berbeda, walaupun yang bersangkutan adalah bersaudara kandung atau saudara kembar sekalipun. Demikian halnya dengan kepribadian, ditinjau dari segi fisik, masih sering ditemukan adanya kesamaan antar manusia, tetapi dari kepribadian, tidak ada manusia yang mempunyai kepribadian sama, walaupun yang bersangkutan dilahirkan kembar. Keberbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia, menjadi kekhasan yang melekat pada diri manusia yang bersangkutan, dan menjadi identitas dari yang bersangkutan, serta yang membedakan dengan manusia yang lainnya. Karakter yang khas ini mempengaruhi kebutuhan manusia dan cara-cara yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Kharakteristik khas ini dimiliki oleh setiap manusia, tetapi tiap manusia memiliki kekhasan yang berbeda. Misalnya saja, setiap manusia membutuhkan makanan, tetapi tidak setiap manusia memerlukan nasi untuk memenuhi kebutuhan makanannya, karena ada manusia makanannya dari roti, sagu, dan jagung, bahkan dari umbi-umbian. Demikian halnya dengan jumlahnya. Coba perhatikan teman-teman kita, apakah ada perbedaan banyaknya makan? Inilah yang menyebabkan manusia itu dikategorikan sebagai makluk individu. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai keinginan, kebutuhan, kebiasaan, cita-cita yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, walaupun mereka saudara kandung, bertempat tinggal di lokasi yang sama, dan tidur atau sekolah di tempat yang sama. Oleh karena itu, mereka mempunyai kebiasaan, keinginan, kebutuhan, serta sikap dan perilaku yang berbeda dengan kita dalam suatu hal, tetapi sama dalam hal yang lain.


B. MANUSIA SEBAGAI MAKLUK SOSIAL

Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain, selanjutnya interaksi ini berbentuk kelompok. Kemampuan dan kebiasaan manusia berkelompok ini disebut juga dengan zoon politicon.
Istilah manusia sebagi zoon politicon pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles yang artinya manusia sebagai binatang politik. Manusia sebagai insan politik atau dalam istilah yang lebih populer manusia sebagi zoon politicon, mengandung makna bahwa manusia memiliki kemampuan untuk hidup berkelompok dengan manusia yang lain dalam suatu organisasi yang teratur, sistematis dan memiliki tujuan yang jelas, seperti negara. Sebagai insan politik, manusia memiliki nilai-nilai yang bisa dikembangkan untuk mempertahankan komunitasnya. Argumen yang mendasari pernyataan ini adalah bahwa manusia sebagaimana binatang, hidupnya suka mengelompok. Hanya sifat mengelompok antara manusia dan binatang berbeda, hewan mengandalkan naluri, sedangkan manusia berkelompok dilakukan melalui proses belajar dengan menggunakan akal pikirannya. Sifat berkelompok pada manusia didasari pada kepemilikan kemampuan untuk berkomunikasi, mengungkapkan rasa dan kemampuan untuk saling bekerjasama. Selain itu juga adanya kepemilikan nilai pada manusia untuk hidup bersama dalam kelompok, antara lain: nilai kesatuan, nilai solidaritas, nilai kebersamaan dan nilai berorganisasi (Priyanto, 2002).
Nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang dianggap paling baik, paling bermakna, paling berguna, paling menguntungkan, dan paling dapat mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Nilai kesatuan mengandung makna bahwa komunitas politik merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki tekad untuk bersatu dan komunitas politik hanya terwujud apabila ada persatuan. Nilai solidaritas mengandung makna bahwa hubungan antar manusia dalam komunitas politik bersifat saling mendukung dan selalu membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan manusia yang lain. Nilai kebersamaan mengandung arti komunitas politik merupakan wadah bagi mereka untuk mewujudkan tujaun hidup yang diidam-idamkan. Nilai organisasi mengandung makna bahwa komunitas politik yang dibangun manusia, mengatur dirinya dalam bentuk pengorganisasi yang memungkinkan tiap-tiap menudia mengambil perannya. Aktualisasi manusia sebagai makluk sosial, tercermin dalam kehidupan berkelompok. Manusia selalu berkelompok dalam hidupnya.
Berkelompok dalam kehidupan manusia adalah suatu kebutuhan, bahkan bertujuan. Tujuan manusia berkelompok adalah untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk kelompoknya, disadari atau tidak, manusia berkelompok mempunyai tujuan meningkatkan kebahagiaan hidupnya. Melalui kelompok manusia bisa memenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, bahkan bisa dikatakan kebahagiaan dan keberdayaan hidup manusia hanya bisa dipenuhi dengan cara berkelompok. Tanpa berkelompok tujuan hidup manusia yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan bisa tercapai.
Manusia merupakan makluk individu dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial manusia selalu hidup berkelompok dengan manusia yang lain. Perilaku berkelompok (kolektif) pada diri manusia, juga dimiliki oleh makluk hidup yang lain, seperti semut, lebah, burung bangau, rusa, dansebagainya, tetapi terdapat perbedaan yang esensial antara perilaku kolektif pada diri manusia dan perilaku kolektif pada binatang. Kehidupan berkelompok (perilaku kolektif) binatang bersifat naluri, artinya sudah pembawaan dari lahir, dengan demikian sifatnya statis yang terbentuk sebagai bawaan dari lahir. Contoh bentuk rumah lebah, sejak dahulu sampai sekarang tidak ada perubahan, demikian halnya dengan rumah semut dan hewan lainnya. Sebaliknya perilaku kolektif manusia bersifat dinamis, berkembang, dan terjadi melalui proses belajar (learning process).
Berkelompok dalam kehidupan manusia juga merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Beberapa kebutuhan hidup manusia yang dapat dipenuhi melalui kehidupan berkelompok antara lain: komunikasi, keamanan, ketertiban, keadilan, kerjasama, dan untuk mendapatkan kesejahteraan. Kehidupan berkelompok manusia tercermin dalam berbagai bentuk, mulai dari kelompok yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir.
Kehendak untuk hidup berkelompok pada diri manusia merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi, dan hampir tidak diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana, dan hanya tergantung kepada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya (Horton, 1993). Terhadap pernyataan ini, sering ditemukan adanya pengelompokkan manusia yang semula teratur dan tertib, tiba-tiba berubah tanpa rencana, tanpa sebab, dan tanpa arah menjadi kerumunan yang menimbulkan kekacauan sosial dan pengrusakan. Seperti kasus demonstrasi, suporter sepakbola, dan tawuran yang sering terjadi di kalangan pelajar atau masyarakat baik di Indonesia maupun di negara-negara diluar Indonesia.
Perilaku berkelompok (perilaku kolektif) pada manusia karena terjadi melalui proses belajar menyebabkan munculnya beragam jenis, diantaranya: perilaku kerumunan (crowd), perilaku massa, gerakan sosial, perilaku dalam bencana, gerombolon, kericuhan (panics), desasdesus, keranjingan, gaya (fad), model (fashions), propaganda, pendapat umum, dan revolusi (Horton, 1993).

Pengelompokkan manusia menjadi berbagai macam bentuk perilaku berkelompok tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Smelser (Horton, 1993), faktor determinan dari perilaku kolektif manusia adalah:

1). kesesuaian struktural (structural conducivenes), yaitu struktur sosial masyarakat dapat menjadi faktor penunjang atau penghambat munculnya perilaku berkelompok manusia, dalam kenyataannya masyarakat tradisional yang sederhana lebih sulit melahirkan perilaku berkelompok dibandingkan dengan masyarakat modern;

2). ketegangan struktural (structural strain), yaitu pencabutan hak dan kekhawatiran akan hilangnya sesuatu sebagai penyebab timbulnya perilaku berkelompok manusia, perasaan adanya ketidakadilan mendorong banyak orang untuk melakukan tindakan ekstrim, kelas sosial bawah, kelompok minoritas tertekan, kelompok yang hasil jerih payahnya terancam, serta kelompok sosial atas yang khawatir akan kehilangan hak-hak istimewanya merupakan manusia yang secara struktural berkemungkinan melahirkan perilaku kolektif;

3). kemunculan dan penyebaran suatu pandangan atau ajaran bisa menjadi pemicu munculnya perilaku kolektif manusia, hal ini dikarenakan sebelum perilaku tersebut muncul manusia harus memiliki pandangan yang sama mengenai sumber ancaman, jalan keluar, dan cara pencapain jalan keluar tersebut atas permasalahan hidup yang dihadapinya;

4). adanya faktor pemercepat (precipitating factors) yaitu perilaku, ucapan dan gerak yang menjadi pemicu munculnya perilaku kolektif, contoh: desas-desus dan isyu bisa menjadi alasan pemercepat munculnya perilaku kolektif, teriakan “polisi bangsat” “bakar” “habisi” dan sebagainya pada kelompok masyarakat yang sedang demo bisa menjadi pemercepat gerakan merusak dan melawan serta kerusuhan, seseorang yang tiba-tiba lari dalam suatu kerumunan bisa menjadi pemicu timbulnya kericuhan dan kekacauan sosial;

5).mobilitas tindakan, perilaku kolektif manusia sering dikoordinir oleh pemimpin kelompok, pemimpin atau koordinator yang memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan kolektif manusia; dan (6) kontrol sosial masyarakat, semua perilaku kolektif manusia baik yang merusak maupun yang membangun pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kinerja dari lembaga kontrol sosial masyarakat seperti pemimpin, polisi, propaganda, kebijakan pemerintah, legislatif, yudikatif, dan berbagai lembaga kontrol sosial lain yang ada dalam masyarakat.

Contoh-contoh dari pernyataan di atas bisa ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering melihat berbagai peristiwa yang mengarah pada kekacauan sosial berawal dari hal-hal yang sangat sepele dan dipicu oleh sesuatu yang tidak jelas, bahkan faktor-faktor tersebut menjadi referensi oleh pihak-pihak tertentu untuk menciptakan terjadi berbagai macam kerusuhan sosial dengan tujuan tertentu pula.
Oleh karena itu, kita harus mengerti, cerdas, dan faham atas hal tersebut, jangan sampai kita dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingannya sehingga kita bertindak yang anarkis, seperti pernah terjadi kasus di daerah Probolinggo, Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, tentara yang menyerbu penduduk hanya gara-gara salah satu dari anggota tentara tersebut kalah bersaing dalam mendapatkan seorang bunga desa.
Kelompok dalam kehidupan manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga (3) besar, yaitu yang paling kecil namanya keluarga, paling besar dan paling ideal namanya negara, diantara keluarga dan negara ada berbagai macam kelompok atau organisasi, baik yang formal maupun yang tidak formal, seperti orang-orang yang bergerombol, kumpul-kumpul, berkelompok di poskamling, arisan, yayasan, Perseroan Terbatas (PT), organisasi massa (ormas), Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, partai politik (parpol), remaja masjid (remas), Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan sebagainya.
Aktualisasi manusia sebagai zoon politicon tercermin dalam kehidupan bernegara. Negara dalam pemikiran Aristoteles merupakan suatu persekutuan hidup politik (Rapar, 2001). Hal ini mengandung makna:
(1) sebagai persekutuan hidup politik, negara bukan hanya sebagai instrumen, atau bukan hanya sebagai organisasi yang teratur, melainkan suatu persekutuan hidup yang menunjukkan adanya suatu hubungan yang bersifat organik, saling berhubungan antar warga negara;
(2) sebagai persekutuan hidup, menunjukkan adanya suatu hubungan antar manusia yang khusus, erat, akrab, mesra dan lestari di antara warga negara;
(3) selaras dengan konsep negara sebagai persekutuan hidup politik, Plato menegaskan bahwa negara merupakan keluarga. Apabila warga negara dapat memahami, menghayati dan mengamalkanmakna serta tuntutan hakekat negara sebagai satu keluarga, maka kesatuan dan keutuhan hidup bernegara akan tercipta dan terpelihara dengan baik; dan
 (4) negara sebagai persekutuan hidup berbentuk polis. Negara merupakan bentuk persekutuan hidup atau pengelompokkan manusia yang paling tinggi, memiliki tujuan yang paling tinggi, paling jelas, paling mulia dan paling luhur bila dibandingkan dengan tujuan yang dimiliki oleh persekutuan hidup lainnya. Negara bahkan secara sistimatis dan berkesinambungan selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia yang menjadi warga negaranya. Hal ini tercermin dalam setiap program kerja dan aktifitas yang dilakukan negara, atau biasa dikenal dengan sebutan pembangunan.
Keberadaan dan terbentuknya negara bukan untuk negara itu sendiri. Tujuan akhir negara bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk manusia yang menjadi warga negaranya. Oleh sebab itu, kendati negara merupakan persekutuan hidup yang berada di jenjang paling atas dan karena itu berdaulat, namun gagasan negara ideal bukanlah negara absolut, kekuasaan negara tidak bersifat mutlak, negara adalah untuk manusia dan kesejahteraan hidup manusia.
Negara adalah suatu bentuk persekutuan hidup yang paling tinggi, karena memiliki tujuan yang paling tinggi, yaitu kebaikan yang tertinggi bagi manusia. Hal ini berarti negara harus senantiasa mengupayakan serta menjamin adanya kebaikan yang seoptimal mungkin bagi warga negaranya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Biasanya tujuan negara itu tercantum dengan tegas dalam konstitusi negara. Di dalam negara, manusia yang menjadi warga negaranya harus dapat menikmati kehidupan yang aman dan tenteram. Oleh karena itu, negara harus dapat melindungi warga negaranya dari berbagai serangan dari luar, juga harus dapat melindungi warga negaranya dari berbagai gangguan yang berasal dari dalam negara seperti ketidakteraturan dan ketidaktertiban. Negara harus mengupayakan dan menjamin sebesar-besarnya kesejahteraan bersama warga negaranya, karena hanya di dalam kesejahteraan bersama itulah, kesejahteraan individual dapat diperoleh. Negara ideal adalah negara yang memanusiakan manusia.
Manusia hanya menjadi manusia apabila ia hidup di dalam negara (berkelompok), karena di luar negara hanya ada makhluk hidup di bawah manusia atau yang di atas manusia. Oleh karena itu, negara ada dan terbentuk bukan sekedar agar manusia hidup di dalamnya, tetapi agar manusia itu benar-benar memanusia di dalam negara dan lewat hidup bernegara. Di dalam dan lewat hidup bernegara, manusia dimampukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin. Hal ini berarti bahwa di dalam negara, manusia seharusnya dapat mencapai tingkat kebajikan yang tertinggi. Keberhasilan manusia untuk mencapai tingkat kebajikan yang tertinggi haruslah lewat moralitas yang terpuji, karena hanya dengan moralitas yang demikian itulah yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lainnya.
Negara yang memanusiakan manusia, berarti negara ada dan terbentuk agar manusia dapat mencapai kesempurnaan, yaitu kehidupan dalam tingkat kebajikan yang paling tinggi yang sesuai dengan kodratnya. Melalui negara dimaksudkan agar setiap warganya dapat meraih kesejahteraan material, spiritual dan intelektual, sebagai perwujudan dari terwujudnya manusia seutuhnya.







0 komentar:

Posting Komentar